Saya Copy dari Sini |
Ketika saya bangun tadi pagi, bukan
waktu Indonesia bagian Barat, Timur ataupun Tengah, bukan pula waktu Timor
Leste, melainkan waktu America bagian Midwest. Dinding Facebook saya terlihat ada
beberapa ucapan-ucapan selamat buat Dirgahayu Indonesia yang ke 69 atau Sixty
Nine. Ucapan tidak hanya datang dari para pemilik Indonesia
tetapi banyak juga kaum muda Timor Leste yang dari beberapa kalangan. Mereka
adalah kelompok yang, kalo saya tidak salah, bukan hanya untuk ngepost layaknya
kebiasaan di Facebook, tetapi mereka ingin benar-benar ngepost buat hari
specialnya buat bang Indo, pangilan saya. Saya tergugah juga untuk ngepost
sesuatu dimana saya cukup dekat juga sama Bang Indo. Kedengaran terlalu
berlebihan kalo saya merasa dekat sama ratusan juta penduduknya, tapi cuman
beberapa sih. Mending ngeblog aja biar lumayanlah omonganya.
Secara historis, Indonesia itu kaya
mantan pacarnya Timor Leste. Secara mereka dulu dipaksa paksa untuk jatuh cinta,
akhinrya menikah. Misalnya, satu orang cowo maksain satu cewe untuk nikah. Terus
karena ada unsur paksaan itu, kekerasan rumah tangga terus terjadi. Sampai si
cowo itu saking kuatnya secara uang dan pendidikan, ada rencana penculikan
terhadap beberapa orang keluarga si
cewenya, dan sadisnya bahkan ada yang dibunuh. Itu karena, diantara keluarga cewe
itu ada yang nga setuju supaya si cewe nikah sama suaminya itu. Nah, yang paling
aneh bin ajaib dalam dunia percintaan itu, setelah bercerai mereka berdua nangis-nangisan, minta tolong sana sini untuk damaiin, walapun “impossible” buat balik
lagi. Pengadilan dibawa bawa, dan pihak ketiga seperti nenek, teman lama,
mantan pacar, teman kantor dan orang orang dekat lainya itu dibawa-bawah untuk
damaiin conflict yang sudah menyakitkan itu. Ini sih dalam dunia percintaan itu
nga aneh lagi, karena memang dari sononya udah begitu. Damai diunjung conflict itu
hal yang lumrah juga karena setelah conflict, orang menyadari bahwa masih ada
hidup jangkan panjang, yang kalo conflict terus berlanjut, maka yang namanya
mau hidup bahagia itu kaga bisa ngerasain. Makanya banyak orang yang milih damai
dan jadi Sodara paling dekat setelah konflik, tapi ada juga yang jadi musuh
kaya kucing dan tikus. Setidaknya analogy ini kena dikit tipis-tipis aja pada
cerita mengenai apa yang telah terjadi diantara Timor Leste dan Indonesia.
Ngomonging Negara di sini, saya ngerasa bahasanya itu berat banget tapi “who cares” jadi “go on.” Saya mau mengucapkan selamat juga karena ada beberapa kedekatan spsikologi. Yang pertama, kebiasaan Dirgahayuan itu lekat banget dengan masa kanak-kanak kami waktu itu. Mulai dari SD, dan akhir masa SMP. Waktu itu, anak-anak ‘ndeso’ kalo bahasa pangilan keren sekarang buat yang para gunung-ers, upacara bendera itu hal yang kalo dalam Bahasa Inggris itu bukan lagi “have to” tapi “must”. It is a must! Hal ini mungkin terjadi disekolah manapun di seluruh Indonesia waktu itu layaknya peraturan sekolah. Tapi secara situational, punya kita agak beda bro…! Kalo nga hafal lagu Indonesia Raya, nga pake seragam Merah Putih, nga rapi dengan attribute yang cinta Indonesia, maka anak kecilpun sudah dicurigain sebagai pemberontak, orang yang nga benar, dll. Padahal waktu itu, anak kecil itu tau apa sih! Nga hafal lagu itu juga kan karena BODOH, nga datang dengan compulsory attribute itu kan juga karena MISKIN. Nationalism itu sebenarnya nga ada korelasi langsung dengan apakah bisa hafal national anthem ato pake attribute yang lengkap. Ini yang membuat agak beda dikit dari yang tadinya bagus kalo hanya jadi peraturan sekolah yang semata mata untuk pendidikan disiplin. Saya bahkan waktu itu nga sombong sih, tapi jadi anak yang disiplin, taat pada aturan, jadi pengibar bendera, dan ikutan banyak peran di setiap upacara bendera itu. Jujur aja bro, saya kalo dengar lagu Indonesia raya itu kadang suka merinding. Itu karena ngingatin aku dengan anak cewe bapak Babinsa yang biasa di sebelah aku kalo setiap Senin ada upacara bendera =D =D. Tapi aku mau jujur lagi, karena dengan situati seperti itu aku belajar jadi disiplin walaupun nga pintar pintar terus di kampung saya. Apapun itu, situasi seperti itu sudah membentuk dasar yang kuat hingga sampai sekarang. Walaupun, sekali lagi, saya nga kaya kaya dan nga pintar pintar terus sampai sekarang =D =D.
Kisah kanak-kanak saya seperti ini
membuat saya kehilangan setelah, waktu itu masih kecil, menerima kenyataan
bahwa kita kehilangan teman teman bermain. Banyak teman-teman upacara 17an,
baik itu bapak ibunya dari Indonesia, dan bahkan ada saudara kita yang waktu
itu bapaknya tidak pernah akan mau kembali ke tanah kelahiranya karena saking
cintanya dengan Indonesia. Setelah upacara bendera, pemain kelereng dan karet
sudah berkurang. Dan sudah tidak ada lagi sepeda dayung yang berkeliaran di
kampung kita karena yang punya sepeda itu cuman teman teman dari Indonesia. Kita
jadi sedih, karena apapun itu, kita kehilangan teman bermain. Tapi kesedihan
itu kembali menjadi normal karena pada dasarnya hubungan antara sesama manusia
itu tidak dibatasi dengan apa pun. Apa lagi secara geografis kita bertetangga. Batas
fisik wilayah sebuah negara tidak boleh melarang orang untuk menjadi teman dan
bersaudara. Hal ini yang saya secara pribadi rasakan bahwa Indonesia dan Timor
Leste sudah menjadi saudara yang begitu dekat. Dengan analogy sebagai mantan
pacar, asumsinya orang yang bernasib seperti (bertenkar abis, jadi sodara),
Timor Leste sudah menjadi saudara dengan Indonesia dihitung dari waktu tahun
70an dan sampai sekarang dan semoga sampai kapanpun. Banyak pertenkaran,
pemaksaan dan pembunuhan, tapi akhirnya pelaku pelaku itu sendiri yang sadar
akan pentingnya kekerabatan dan kekeluargaan. Dan yang paling penting adalah,
korban-korban perang sendiri yang sekarang menjadi jembatan untuk membangun
hubungan kekerabatan dan kekeluargaan itu. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang
telah gugur ketika memperjuangkan kemerdekaan percaya bahwa mereka gugur bukan
supaya generasinya bermusuhan dengan Belanda. Sama halnya dengan kita, dengan
menurunkan topi buat pahlawan-pahlawan Timor Leste yang telah gugur, aku
percaya mereka gugur bukan mau supaya anak cucunya bermusuhan dengan Indonesia.
Jadi pada intinya kita berdoa semuanya untuk Timor Leste dan Indonesia menjadi Negara
yang maju dan sejahtera, saling menghormati dan menghargai. Ya, itu tercapai
kalo kita nga KORUPSI!
Ketika saya ngucapin Selamat Ulang
Tahun buat Indonesia itu berarti saya mendoakan orang Indonesia secara umum,
dan secara specific, orang yang saya pernah ketemu dan kenal supaya jualanya lancar,
proyeknya lancar, sekolahnya lancar, dan job job laninnya lancar semua. Amin. Aku
berharap bukan teman dari Sini tapi suatu saat ada teman Indonesia, entah
dimanapun dia berada, bisa menulis dan menyampaikan Selamat buat NegaraKu Timor
Leste nanti di setiap tahun pada tanggal 20 Mei. Ini bukan untuk minta balasan
tapi minta untuk saling mendoakan. MERDEKA buat Indonesia. Saya dengar bapak
SBY mau ada kunjungan terakhir ke Dili. Good good, tapi saya nga bisa lebih nahan
mau liat Jokowi datang.
Hope this gives you an inspiration.